Apa Itu Freight Forwarding dan Mengapa Penting?
Freight forwarding adalah jasa pengiriman barang lintas negara yang mencakup pengelolaan transportasi, dokumen, hingga kepabeanan.
Menurut data industri, nilai pasar global freight forwarding mencapai USD 216,47 miliar pada tahun 2024 dan diperkirakan meningkat menjadi USD 285,60 miliar pada tahun 2030, dengan pertumbuhan rata-rata 4,9% per tahun.
Perusahaan besar seperti DHL, Kuehne+Nagel, DB Schenker, dan Maersk Logistics mendominasi industri ini. Karena beroperasi di banyak negara, mereka harus mematuhi aturan pajak yang berbeda-beda—dan di sinilah isu transfer pricing sering muncul.
Model Bisnis Freight Forwarder dan Kompleksitas Pajak
Freight forwarder tidak hanya sekadar “kurir internasional”. Mereka menjalankan berbagai fungsi, seperti:
Freight Management: mengatur moda, rute, dan jadwal pengiriman paling efisien.
Customs Brokerage: menangani proses bea cukai agar barang tidak tertahan di perbatasan.
Warehousing & Distribution: menyediakan layanan penyimpanan dan distribusi barang.
Digital Freight Platform: menghubungkan pelanggan, pelacakan, hingga pembayaran secara online.
Namun, model bisnis ini sering melibatkan biaya pass-through, seperti biaya pelabuhan, truk, dan terminal yang dibayarkan ke pihak afiliasi di negara lain.
Pertanyaannya: apakah biaya tersebut hanyalah reimbursement (titipan), atau pendapatan yang harus dikenai pajak?
Titik Sensitif Transfer Pricing di Freight Forwarding
Ada beberapa area yang menjadi perhatian utama otoritas pajak di seluruh dunia:
Margin Agen
Industri forwarding memiliki margin tipis. Namun, otoritas pajak kerap membandingkannya dengan margin industri umum yang lebih tinggi.Biaya Intra-Grup
Biaya layanan dari induk global seperti IT, platform booking, atau manajemen pusat harus dibuktikan memberikan manfaat nyata bagi entitas lokal.Pembagian Laba Global
Banyak grup besar menarik laba ke kantor pusat regional (misalnya di Singapura atau Hongkong), sementara entitas lokal hanya menerima porsi kecil. Negara berkembang sering merasa dirugikan karena nilai tambah lokal tidak tercermin.Permanent Establishment (PE)
Jika agen lokal memiliki wewenang menandatangani kontrak atas nama perusahaan induk, entitas tersebut bisa dianggap PE dan dikenai pajak tambahan di negara tempat beroperasi.Tax Treaty (Pasal 8)
Perjanjian pajak internasional untuk pelayaran dan penerbangan tidak berlaku bagi freight forwarder, sehingga penghasilannya tetap dikenai PPh normal.
Contoh Kasus Transfer Pricing di Dunia
India – Net Freight Pvt. Ltd.
Perusahaan ini melaporkan margin hanya 2,56%, sementara otoritas pajak menilai margin wajar berada di kisaran 7–13%. Hasilnya, terjadi sengketa panjang terkait transfer pricing.
Brasil & India
Dalam kasus lain, biaya logistik antar-entitas tidak dianggap sebagai reimbursement murni karena kurang bukti. Akibatnya, biaya tersebut dianggap pendapatan dan dikenakan pajak tambahan.
Pelajaran penting: perusahaan harus memiliki dokumentasi yang lengkap dan mampu membuktikan manfaat dari setiap biaya yang dibebankan antar entitas.
Kasus dan Praktik Transfer Pricing di Indonesia
Indonesia juga memiliki beberapa kasus penting yang menjadi pelajaran bagi perusahaan freight forwarding:
PUT-58587/PP/M.VIB/12/2014
Koreksi PPh 23 atas document charges dan handling. Bukti invoice dan ledger menjadi dasar penting pembelaan.PUT-54598/PP/M.IA/16/2014
Mahkamah Pajak menegaskan bahwa PPN hanya dikenakan atas fee jasa forwarding, bukan pada keseluruhan biaya pass-through.PUT-87465/PP/M.XVB/13/2017
Memperkuat pentingnya pemisahan antara biaya reimbursement dan fee jasa agar tidak terjadi koreksi pajak berlebihan.
Kesimpulannya, perusahaan freight forwarding harus memiliki sistem dokumentasi yang jelas untuk membedakan biaya titipan dan pendapatan jasa. Tanpa pemisahan yang akurat, risiko koreksi pajak bisa sangat besar.
Transfer pricing di industri freight forwarding merupakan isu kompleks yang menyatukan aspek bisnis, logistik, dan perpajakan lintas negara.
Dengan menerapkan prinsip arm’s length, menyusun transfer pricing documentation yang transparan, serta memastikan pembagian laba yang proporsional, perusahaan dapat meminimalkan risiko sengketa pajak.
Kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan juga bagian penting dari praktik bisnis yang adil dan berkelanjutan di era globalisasi logistik.





