Artikel

Lapor Pajak 2025 Jadi Lebih Mudah: Kenali dan Gunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Lapor Pajak 2025 Jadi Lebih Mudah: Kenali dan Gunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Menjelang masa pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025, banyak pelaku usaha dan pekerja bebas mulai menyiapkan dokumen serta perhitungan pajaknya. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ingin membuat pembukuan lengkap seperti perusahaan besar, pemerintah menyediakan metode sederhana untuk menghitung penghasilan bersih, yaitu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Metode ini sangat membantu pelaku usaha kecil, pedagang, dokter, notaris, konsultan, hingga pekerja bebas lainnya yang belum wajib menyelenggarakan pembukuan secara lengkap. Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 14 UU Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU HPP 2021) dan peraturan teknisnya dijelaskan dalam PER-17/PJ/2015.

Dengan NPPN, perhitungan penghasilan bersih dilakukan menggunakan persentase norma berdasarkan jenis usaha dan lokasi kegiatan. Artinya, Wajib Pajak cukup mencatat omzet tahunan, kemudian mengalikan dengan persentase norma yang sudah ditentukan oleh DJP.

Metode ini membuat proses pelaporan SPT lebih cepat, lebih sederhana, dan sangat ramah bagi pelaku usaha kecil.


Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)?

Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase yang ditetapkan DJP untuk menghitung perkiraan laba bersih Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Norma ini diberikan sebagai fasilitas agar Wajib Pajak yang belum wajib melakukan pembukuan tetap dapat menghitung pajaknya secara sederhana dan objektif.

Perhitungan NPPN sangat mudah karena hanya menggunakan satu rumus:

Penghasilan Bersih = Omzet × Persentase Norma

Besarnya norma berbeda tergantung:

  • jenis usaha (perdagangan, jasa, profesi, industri),

  • dan lokasi kegiatan usaha (provinsi/kabupaten/kota).

Norma di wilayah luar Jawa–Bali umumnya lebih tinggi karena DJP mempertimbangkan faktor ekonomi, biaya hidup, dan karakteristik usaha di daerah tersebut.

Berikut contoh persentase norma menurut PER-17/PJ/2015:

  • Jasa konsultan di Jakarta: 50%

  • Toko kelontong di Bandung: 30%

  • Usaha bengkel di Surabaya: 35%

  • Dokter umum praktik mandiri di Medan: 55%

Dengan menggunakan persentase norma ini, Wajib Pajak tidak perlu menyusun laporan keuangan lengkap berupa neraca ataupun laporan laba rugi.


Contoh Perhitungan NPPN untuk Usaha dan Pekerja Bebas

Agar lebih mudah dimengerti, berikut dua contoh perhitungan lengkap menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Contoh 1 – Usaha Dagang Kelontong di Bandung
  • Jenis usaha: perdagangan eceran

  • Lokasi: Bandung

  • Norma: 30%

  • Omzet 2025: Rp500.000.000

Langkah perhitungan:

  1. Penghasilan bersih
    = Rp500.000.000 × 30%
    = Rp150.000.000

  2. Kurangi dengan PTKP
    Misalnya WP belum menikah → PTKP = Rp54.000.000

    Penghasilan kena pajak =
    Rp150.000.000 – Rp54.000.000
    = Rp96.000.000

  3. Hitung PPh dengan tarif progresif Pasal 17:

    5% × Rp96.000.000 = Rp4.800.000

Total pajak terutang per tahun: Rp4.800.000


Contoh 2 – Pekerja Bebas: Dokter Umum di Medan
  • Profesi: dokter praktik mandiri

  • Lokasi: Medan

  • Norma: 55%

  • Omzet 2025: Rp800.000.000

  1. Penghasilan bersih
    = Rp800.000.000 × 55%
    = Rp440.000.000

  2. Kurangi PTKP (kawin + 1 tanggungan: Rp58.500.000)
    Penghasilan kena pajak =
    Rp440.000.000 – Rp58.500.000
    = Rp381.500.000

  3. Hitung PPh progresif:

    • 5% × 60.000.000 = 3.000.000

    • 15% × 190.000.000 = 28.500.000

    • 25% × 131.500.000 = 32.875.000

    Total pajak = Rp64.375.000


Syarat Siapa Saja yang Boleh Menggunakan Norma

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan NPPN. DJP telah menetapkan syarat-syarat tertentu, yaitu:

1. Subjek Wajib Pajak

Hanya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas seperti:

  • pedagang,

  • dokter,

  • konsultan,

  • notaris,

  • penjahit,

  • tukang service,

  • fotografer,

  • dan profesi mandiri lainnya.

2. Batasan omzet

Hanya untuk yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar per tahun.

Jika omzet melebihi batas ini → wajib beralih ke pembukuan lengkap.

3. Wajib melakukan pencatatan sederhana

Minimal mencatat:

  • penerimaan,

  • pengeluaran,

  • daftar aset tetap.

4. Menyampaikan pemberitahuan resmi penggunaan norma

Pemberitahuan dilakukan paling lambat 31 Desember 2025 melalui:

  • sistem CORETAX DJP, atau

  • KPP tempat WP terdaftar.

5. Tidak sedang diwajibkan pembukuan

Jika WP pernah diperiksa dan diwajibkan pembukuan → tidak boleh menggunakan norma.


Cara Mengajukan Pemberitahuan Penggunaan NPPN di Coretax

DJP kini menyediakan proses yang jauh lebih mudah melalui platform CORETAX.

Berikut langkah-langkahnya lengkap:

  1. Masuk ke CORETAX DJP menggunakan NPWP dan passphrase.

  2. Pilih menu Layanan Wajib Pajak → Layanan Administrasi.

  3. Klik Buat Permohonan Layanan Administrasi.

  4. Pilih layanan AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan NPPN.

  5. Isi data lengkap: domisili usaha, prediksi omzet, dan tahun pajak.

  6. Simpan lalu klik Create PDF untuk membuat dokumen pemberitahuan.

  7. Tanda tangani dokumen secara elektronik (Sign + passphrase).

  8. Klik Submit.

  9. Jika berhasil, status berubah menjadi Kasus Tertutup.

  10. Unduh BPE dan surat pemberitahuan melalui Portal Saya → Dokumen Saya.

Pemberitahuan ini harus dilakukan setiap tahun, selama WP ingin menggunakan norma untuk perhitungan pajak.


Keunggulan Menggunakan Norma dan Kesalahan Umum yang Harus Dihindari
Keunggulan NPPN:
  1. Administrasi pajak sangat sederhana.

  2. Tidak memerlukan laporan keuangan formal.

  3. Menghemat biaya dan waktu.

  4. Mendukung Wajib Pajak kecil untuk tetap tertib pajak.

  5. Mengurangi risiko sanksi akibat pembukuan yang tidak lengkap.

  6. Perhitungan pajak jelas dan mudah dipahami.

Kesalahan yang Sering Terjadi dan Harus Dihindari:
  1. Tidak menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma tepat waktu.

  2. Menggunakan norma padahal omzet sudah melewati Rp4,8 miliar.

  3. Tidak mencatat transaksi usaha dengan benar.

  4. Salah menentukan kode norma atau lokasi kegiatan.

  5. Menganggap NPPN otomatis tanpa pemberitahuan ke DJP.

Jika terjadi kesalahan, DJP dapat menolak penggunaan norma dan mewajibkan pelaporan pajak dengan sistem pembukuan lengkap.

Share