Latar Belakang Aturan Baru
Pada 22 Mei 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 9/PJ/2025 (PER-9/PJ/2025). Aturan ini menjadi dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada DJP untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak elektronik (e-Faktur).
Ketentuan ini mencabut aturan lama yakni PER-19/PJ/2017 jo. PER-16/PJ/2018, dan hadir sebagai upaya memperkuat pengawasan atas penerbitan faktur pajak. Latar belakang utamanya adalah banyaknya praktik penyalahgunaan faktur pajak tidak sah yang menggerus penerimaan negara dan merugikan iklim usaha yang sehat. Dengan aturan baru ini, pemerintah berupaya memastikan bahwa hanya transaksi riil dan sah yang dapat tercatat dalam sistem perpajakan.
Siapa yang Bisa Dinonaktifkan Aksesnya?
PER-9/PJ/2025 memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menonaktifkan akses e-Faktur terhadap dua kelompok Wajib Pajak, yaitu:
Wajib Pajak yang terindikasi sebagai penerbit faktur pajak tidak sah.
Wajib Pajak yang terindikasi sebagai pengguna faktur pajak tidak sah.
Yang dimaksud dengan faktur pajak tidak sah adalah faktur yang tidak mencerminkan transaksi sebenarnya atau faktur yang diterbitkan oleh pihak yang bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dengan kata lain, perusahaan yang menerbitkan faktur fiktif maupun pihak yang menggunakan faktur fiktif sama-sama berisiko kehilangan akses e-Faktur.
Bagaimana DJP Menilai Adanya Indikasi?
DJP tidak serta merta menonaktifkan akses e-Faktur tanpa dasar. Penilaian dilakukan melalui intelijen perpajakan dan analisis atas data serta profil usaha. Beberapa aspek yang diperhatikan meliputi:
Keberadaan dan kewajaran lokasi usaha, apakah benar-benar ada, aktif, dan sesuai dengan skala bisnis yang dilaporkan.
Kegiatan usaha yang dijalankan, apakah sesuai dengan profil usaha yang tercatat di DJP.
Adanya pengkreditan Pajak Masukan dari faktur tidak sah, misalnya jika ditemukan faktur fiktif dalam SPT PPN.
Jika hasil analisis menunjukkan indikasi kuat, akses e-Faktur bisa langsung dinonaktifkan sebagai langkah pengamanan.
Hak Wajib Pajak: Klarifikasi 30 Hari
Meskipun demikian, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk memberikan klarifikasi. Mekanismenya adalah sebagai berikut:
DJP akan mengirimkan pemberitahuan resmi mengenai penonaktifan akses e-Faktur.
Setelah menerima surat tersebut, Wajib Pajak diberikan waktu 30 hari kalender untuk menyampaikan klarifikasi tertulis beserta bukti-bukti pendukung.
Kepala Kantor Wilayah DJP wajib memberikan keputusan dalam waktu 30 hari sejak klarifikasi diterima.
Jika klarifikasi dikabulkan, akses e-Faktur akan diaktifkan kembali. Namun, jika ditolak atau tidak ada tanggapan, status PKP Wajib Pajak dapat dicabut.
Skema ini memberi ruang bagi Wajib Pajak untuk membuktikan kepatuhan dan memastikan bahwa aktivitas bisnisnya sah secara hukum.
Bukti Apa Saja yang Perlu Disiapkan?
Agar proses klarifikasi berjalan lancar, perusahaan perlu menyiapkan bukti-bukti yang lengkap dan terstruktur. Beberapa dokumen yang lazim diminta antara lain:
Dokumen transaksi: purchase order (PO), delivery order (DO), berita acara serah terima (BAST), kontrak kerja sama, hingga bukti pembayaran.
Dokumen legalitas: Nomor Induk Berusaha (NIB), izin usaha, akta perusahaan, serta dokumen perpajakan seperti SKT/SKP.
Bukti operasional: foto lokasi usaha, bukti sewa kantor, rekening listrik/air, serta catatan aktivitas bisnis harian.
Pembukuan dan rekonsiliasi: jurnal akuntansi, buku besar, laporan penjualan dan pembelian, serta rekonsiliasi PPN antara e-Faktur dan laporan keuangan.
Konfirmasi rekanan: dokumen yang membuktikan status PKP pemasok maupun pelanggan, termasuk NPWP dan identitas penanggung jawab.
Dengan dokumentasi yang rapi, Wajib Pajak dapat lebih mudah membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan memang nyata.
Dampak Bagi Bisnis
Penerapan PER-9/PJ/2025 tentu membawa konsekuensi bagi dunia usaha.
Dampak negatif yang mungkin timbul:
Wajib Pajak yang aksesnya dinonaktifkan tidak bisa menerbitkan faktur pajak, sehingga dapat menghambat proses penagihan kepada pelanggan.
Jika klarifikasi gagal, risiko terburuk adalah pencabutan status PKP yang akan memengaruhi kredibilitas bisnis.
Potensi gangguan arus kas perusahaan karena tagihan tidak bisa diproses tanpa faktur pajak.
Dampak positif yang diharapkan:
Meningkatkan integritas sistem perpajakan karena hanya transaksi riil yang diakui.
Memberi kepastian hukum bahwa Wajib Pajak patuh tidak akan dirugikan oleh praktik faktur fiktif.
Restitusi dan klarifikasi yang transparan membantu menjaga kepercayaan dunia usaha terhadap otoritas pajak.
Strategi Antisipasi untuk Wajib Pajak
Agar tidak terkena dampak negatif, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah preventif berikut:
Selalu pastikan bahwa faktur pajak diterbitkan dari transaksi nyata.
Lakukan verifikasi status PKP rekanan sebelum menerima faktur pajak untuk dikreditkan.
Rutin melakukan rekonsiliasi PPN antara e-Faktur, laporan keuangan, dan data bank.
Simpan seluruh dokumen pendukung transaksi secara rapi dan mudah diakses.
Susun “playbook klarifikasi” internal, berisi daftar dokumen yang harus disiapkan, alur tanggung jawab, serta tenggat waktu agar perusahaan siap jika ada pemberitahuan dari DJP.
PER-9/PJ/2025 menjadi langkah penting dalam memperkuat sistem PPN Indonesia. Di satu sisi, aturan ini menjadi alarm bagi pelaku usaha agar tidak main-main dengan faktur pajak. Di sisi lain, aturan ini juga melindungi Wajib Pajak yang patuh dengan memberikan mekanisme klarifikasi yang jelas dan transparan.
Bagi dunia usaha, kunci untuk tetap aman adalah memastikan seluruh transaksi riil terdokumentasi dengan baik, melakukan verifikasi rekanan secara berkala, serta menyiapkan strategi klarifikasi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Dengan kepatuhan yang konsisten dan administrasi yang rapi, risiko penonaktifan akses e-Faktur bisa dihindari sekaligus memperkuat kredibilitas bisnis di mata otoritas pajak maupun mitra usaha.






